Jakarta, Jambiekspose.net -- Dikutip dari Medcom, MAHKAMAH Konstitusi (MK) menolak gugatan yang dilayangkan sejumlah dokter terkait monopoli pengeluaran sertifikasi profesi dokter yang dilakukan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Putusan ini mempertegas bahwa IDI merupakan satu-satunya organisasi profesi kedokteran yang sah di Indonesia.
“Terhadap permohonan tersebut, menurut Mahkamah, tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas dalam ketentuan a quo,” tulis salinan putusan MK Nomor 10/PUU-XV/2017 dilansir Kamis, 28 April 2022.
Pemohon mendalilkan mengenai organisasi profesi, para pemohon meminta agar frasa organisasi profesi dalam ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran tidak hanya IDI, tapi meliputi juga Perhimpunan Dokter Spesialis guna menjamin hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat yang diatur dalam ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 serta hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.Namun, dalam pertimbangannya, hakim menilai Perhimpunan Dokter Spesialis sebagai salah satu unsur yang menyatu dan tidak terpisah dari IDI.
“Justru apabila logika permohonan para pemohon diikuti akan timbul ketidakpastian hukum karena dalam praktik menjadi tidak jelas pada saat bagaimana atau kapan organisasi profesi dimaksud dimaknai sebagai IDI dan pada saat bagaimana atau kapan organisasi profesi dimaknai sebagai Perhimpunan Dokter Spesialis,” tulis putusan MK Nomor 10/PUU-XV/2017.
Para Pemohon juga mendalilkan sertifikat kompetensi yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU Praktik Kedokteran seharusnya tidak diberlakukan untuk lulusan baru Fakultas Kedokteran dan uji kompetensi harus diselenggarakan satuan pendidikan yang terakreditasi dan berbentuk badan hukum pendidikan.
Para Pemohon berpandangan setiap lulusan Fakultas kedokteran melalui uji kompetensi sesuai dengan Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran.
Dengan begitu, menurut pemohon, mendapatkan sertifikat profesi (ijazah dokter) tidak perlu lagi mendapat sertifikat kompetensi dari Kolegium Dokter Indonesia yang dibentuk IDI.
Namun, MK memandang secara normatif, menurut Pasal 36 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran, untuk menyelesaikan Program Profesi Dokter atau dokter gigi, mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai dokter atau dokter gigi.Pada ayat (2) mahasiswa yang lulus uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi; ayat (3) uji kompetensi dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan organisasi profesi.
Menurut MK, keterlibatan organisasi profesi sebagai bukti bahwa seorang dokter bukan hanya telah teruji secara akademik tetapi juga teruji dalam menerapkan ilmu yang diperoleh guna melakukan pelayanan kesehatan setelah melalui uji kompetensi dokter atau dokter gigi yang dilakukan Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan organisasi profesi.Sertifikat profesi (ijazah), menurut Mahkamah, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh sertifikat kompetensi, sedangkan sertifikat kompentensi merupakan persyaratan untuk mendaftar ke Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) guna mendapatkan Surat Tanda Registrasi dokter (STR).
Seorang dokter yang telah memperoleh STR, terlebih dahulu harus melakukan Program Internsip. Untuk dapat melakukan praktik mandiri, seorang dokter harus memperoleh surat izin praktik (SIP) dari instansi yang berwenang.
“Sertifikat kompetensi tersebut menunjukkan pengakuan akan kemampuan dan kesiapan seorang dokter untuk melakukan tindakan medis dalam praktik mandiri yang akan dijalaninya dan hanya diberikan kepada mereka yang telah menjalani berbagai tahapan untuk menjadi seorang dokter yang profesional,” tulis putusan MK Nomor 10/PUU-XV/2017.
Dengan begitu, menurut Mahkamah, memberikan sertifikat kompetensi kepada dokter yang tidak kompeten dapat membahayakan keselamatan pasien dan sekaligus mengancam kepercayaan masyarakat terhadap profesi dokter.Sertifikat profesi (ijazah), menurut Mahkamah, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh sertifikat kompetensi, sedangkan sertifikat kompentensi merupakan persyaratan untuk mendaftar ke Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) guna mendapatkan Surat Tanda Registrasi dokter (STR).
Seorang dokter yang telah memperoleh STR, terlebih dahulu harus melakukan Program Internsip. Untuk dapat melakukan praktik mandiri, seorang dokter harus memperoleh surat izin praktik (SIP) dari instansi yang berwenang.
“Sertifikat kompetensi tersebut menunjukkan pengakuan akan kemampuan dan kesiapan seorang dokter untuk melakukan tindakan medis dalam praktik mandiri yang akan dijalaninya dan hanya diberikan kepada mereka yang telah menjalani berbagai tahapan untuk menjadi seorang dokter yang profesional,” tulis putusan MK Nomor 10/PUU-XV/2017.
Dengan begitu, menurut Mahkamah, memberikan sertifikat kompetensi kepada dokter yang tidak kompeten dapat membahayakan keselamatan pasien dan sekaligus mengancam kepercayaan masyarakat terhadap profesi dokter.Pada akhirnya dapat mengancam jaminan hak konstitusional warga negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Sehingga negara dapat dianggap gagal menjalankan kewajiban konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) UUD 1945.
“Oleh karena itu telah terang bagi Mahkamah bahwa sertifikat profesi (ijazah dokter) tidak dapat disamakan dengan sertifikat kompetensi sebagaimana yang didalilkan para pemohon,” tulis putusan MK Nomor 10/PUU-XV/2017.
Namun, hakim sepakat dengan permohonan yang menyatakan anggota IDI tak boleh rangkap jabatan sebagai anggota Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Hal ini untuk mencegah potensi benturan kepentingan.
Mahkamah menjelaskan KKI memiliki tiga tgas, yakni fungsi registrasi dokter sebagai dasar menerbitkan STR, fungsi regulasi yang terkait dengan profesi dokter, dan fungsi pembinaan.
Pada sisi lain, organisasi profesi dokter adalah IDI.
“Oleh karena itu keberadaan pengurus IDI pada KKI potensial menimbulkan konflik kepentingan terutama dalam perumusan regulasi. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” tulis putusan MK Nomor 10/PUU-XV/2017.
Gugatan soal kewenangan IDI ini dilayangkan 32 dokter. Di antaranya Judilherry Justam, Nurdadi Saleh, Pradana Soewondo, Tarmizi Hakim, Wahyuning Ramelan, dan Hari Kusnanto.