Foto Inro, Tim koalisi pemantau independen Gakkum Karhutla Jambi.
Jambi,Jambiekspose.net -- 5(Lima) LSM dan praktisi hukum yang tergabung dalam tim koalisi pemantau independen Gakkum Karhutla jambi gelar pertanggungan jawaban atas Karhutla lokasi di batang hari.
Hal ini dikatakan oleh Usman Gumanti, Setiap tahun kita menghadapi ancaman deforestasi dan degradasi hutan.
"Dari luas kawasan hutan Jambi yang mencapai 2,1 Juta Hektar terdapat 44.31% atau 934 ribu hektar kawasan hutan mengalami deforestasi. Sebanyak 86% atau setara 883 ribu hektar hutan yang berubah dari status hutan primer menjadi hutan sekunder. Hutan primer tersisa hanya 684 ribu Hektar,"jelasnya Jumat(20/12/2019) RM Pondok Kelapa Kota Jambi.
Lima LSM yang termasuk dalam tim koalisi pemantau independen Gakkum Karhutla terdiri dari PINSE, AMAN, KKI Warsi, YLBHL, PRANA serta praktisi hukum.
Degradasi hutan ini juga bahkan terjadi pada kawasan hutan suaka alam dan kawasan hutan lindung. Sekira 136.000 hektar Kawasan hutan suaka alam yang telah terdegradasi dan 56.000 hektar pada hutan lindung.
Lahan kritis bertambah akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dimana per September 2019 saja tercatat sebanyak 18.584 Hektar lahan terbakar.
Ditambahkan oleh Agus Pranata(Prana), Transparansy Internasional (TI) bahkan menyebutkan untuk merehabilitasi 934 ribu ha hutan yang dalam status kritis tersebut diperlukan biaya sebesar Rp 15,8 trilyun, artinya dengan dana reboisasi per tahun hanya sebesar Rp 21 Milyar maka diperlukan waktu selama 752 tahun untuk merestorasi kembali hutan Jambi.
Faktor utama penyebab tingginya deforestasi dan degradasi hutan disebabkan oleh penentuan fungsi kawasan hutan semata-mata atas dasar factor biofisik dan mengabaikan aspek social dan ekonomi.
"Meski telah ada hutan adat dan skema perhutanan social, namun tata-kelola hutan belum sepenuhnya memperhatikan nilai yang hidup dalam masyarakat (living low),"ujarnya.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat (dan setempat) ini penting untuk diterapkan diseluruh wilayah Provinsi Jambi karena mampu berperan sebagai garda pelindung dalam mencegah praktek pengrusakan dan perambahan hutan.
Penguatan peran masyarakat adat ini penting dalam rangka memberikan ruang keadilan dan pencegahan kejahatan lingkungan.
Salah satu potret kasus kejahatan lingkungan dan karhutla yang terjadi pada wilayah Hutan Harapan atau pada landscape Masyarakat Adat Batin Sembilan di Sungai Jerat, Desa Bungku, Bajubang, Batanghari.
" Sebanyak 19 orang pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus karhutla dan perambahan hutan,"katanya.
Tim Koalisi Pemantau Independen Gakum Karhutla Jambi menemukan fakta bahwa 19 tersangka merupakan bagian dari 50 Kepala Keluarga yang telah melakukan pembukaan lahan secara ilegal di kawasan restorasi PT. REKI.
Dijelaskan oleh Mursi Nauli, Padahal kawasan hutan yang dirambah merupakan area sumber penghidupan masyarakat adat Batin Sembilan (Suku Anak Dalam).
"Masyarakat Batin Sembilan bergantung dari hutan sekunder tinggi di wilayah tersebut yang menghasilkan beragam jenis buah, getah, obat-obatan atau Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) lainnya yang menjadi sumber ekonomi mereka,"jelasnya.
Di dalam Piagam Batin Sembilan Kandang Rebo, Dusun Bawah Bedaro disebutkan jempalo tangan sebagai penghukuman atau pembalasan atas perbuatan melakukan perambahan dan pendudukan kawasan hutan, melakukan penebangan kayu dan melakukan pembakaran hutan di wilayah adat mereka seperti di Masai Rusa, Hulu Badak, Lubuk Keramat dan Bukit Pisang.
:Sudah semestinya sanksi seperti jempalo tangan dapat dipadankan dengan perangkat hukum nasional seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan maupun pasal 170 KUHP dan pasal 187 KUHP. Bahkan berbagai tempat terjadinya kebakaran sering sekali menggunakan pasal 108 UU No. 32/2009 Tentang PPLH,"paparnya.
Istilah “jempalo tangan” adalah “perbuatan” melakukan perambahan dan pendudukan kawasan hutan, melakukan penebangan kayu dan melakukan pembakaran hutan di areal yang dilarang yang juga diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) UU No. 41/1999 Tentang kehutanan (UU Kehutanan) dan Pasal 11- Pasal 13 UU No. 18/2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).
"Maka dari itu, Koalisi Pemantau Independe Gakum Karhutla Jambi berdasarkan peninjauan dan pemantauan terhadap penegakan hukum dalam kasus Karhutla dan deforestasi hutan menyampaikan pandangan sebagai berikut:
Pertama, Mendorong semua pihak untuk melakukan upaya penguatan hak dan nilai-nilai (living low) masyarakat adat sebagai garda terdepan dalam melindungi, menjaga dan merawat kawasan hutan yang menjadi sumber kehidupan. Kedua, Mendukung upaya pihak keamanan dalam mengusut tuntas atas kejahatan Karhutla yang dilakukan secara terorganisir dengan tetap mengutamakan pedoman Perkap 8/2009 tentang Implementasi HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisiaan RI,"urainya.(Inro).
Jambi,Jambiekspose.net -- 5(Lima) LSM dan praktisi hukum yang tergabung dalam tim koalisi pemantau independen Gakkum Karhutla jambi gelar pertanggungan jawaban atas Karhutla lokasi di batang hari.
Hal ini dikatakan oleh Usman Gumanti, Setiap tahun kita menghadapi ancaman deforestasi dan degradasi hutan.
"Dari luas kawasan hutan Jambi yang mencapai 2,1 Juta Hektar terdapat 44.31% atau 934 ribu hektar kawasan hutan mengalami deforestasi. Sebanyak 86% atau setara 883 ribu hektar hutan yang berubah dari status hutan primer menjadi hutan sekunder. Hutan primer tersisa hanya 684 ribu Hektar,"jelasnya Jumat(20/12/2019) RM Pondok Kelapa Kota Jambi.
Lima LSM yang termasuk dalam tim koalisi pemantau independen Gakkum Karhutla terdiri dari PINSE, AMAN, KKI Warsi, YLBHL, PRANA serta praktisi hukum.
Degradasi hutan ini juga bahkan terjadi pada kawasan hutan suaka alam dan kawasan hutan lindung. Sekira 136.000 hektar Kawasan hutan suaka alam yang telah terdegradasi dan 56.000 hektar pada hutan lindung.
Lahan kritis bertambah akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dimana per September 2019 saja tercatat sebanyak 18.584 Hektar lahan terbakar.
Ditambahkan oleh Agus Pranata(Prana), Transparansy Internasional (TI) bahkan menyebutkan untuk merehabilitasi 934 ribu ha hutan yang dalam status kritis tersebut diperlukan biaya sebesar Rp 15,8 trilyun, artinya dengan dana reboisasi per tahun hanya sebesar Rp 21 Milyar maka diperlukan waktu selama 752 tahun untuk merestorasi kembali hutan Jambi.
Faktor utama penyebab tingginya deforestasi dan degradasi hutan disebabkan oleh penentuan fungsi kawasan hutan semata-mata atas dasar factor biofisik dan mengabaikan aspek social dan ekonomi.
"Meski telah ada hutan adat dan skema perhutanan social, namun tata-kelola hutan belum sepenuhnya memperhatikan nilai yang hidup dalam masyarakat (living low),"ujarnya.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat (dan setempat) ini penting untuk diterapkan diseluruh wilayah Provinsi Jambi karena mampu berperan sebagai garda pelindung dalam mencegah praktek pengrusakan dan perambahan hutan.
Penguatan peran masyarakat adat ini penting dalam rangka memberikan ruang keadilan dan pencegahan kejahatan lingkungan.
Salah satu potret kasus kejahatan lingkungan dan karhutla yang terjadi pada wilayah Hutan Harapan atau pada landscape Masyarakat Adat Batin Sembilan di Sungai Jerat, Desa Bungku, Bajubang, Batanghari.
" Sebanyak 19 orang pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus karhutla dan perambahan hutan,"katanya.
Tim Koalisi Pemantau Independen Gakum Karhutla Jambi menemukan fakta bahwa 19 tersangka merupakan bagian dari 50 Kepala Keluarga yang telah melakukan pembukaan lahan secara ilegal di kawasan restorasi PT. REKI.
Dijelaskan oleh Mursi Nauli, Padahal kawasan hutan yang dirambah merupakan area sumber penghidupan masyarakat adat Batin Sembilan (Suku Anak Dalam).
"Masyarakat Batin Sembilan bergantung dari hutan sekunder tinggi di wilayah tersebut yang menghasilkan beragam jenis buah, getah, obat-obatan atau Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) lainnya yang menjadi sumber ekonomi mereka,"jelasnya.
Di dalam Piagam Batin Sembilan Kandang Rebo, Dusun Bawah Bedaro disebutkan jempalo tangan sebagai penghukuman atau pembalasan atas perbuatan melakukan perambahan dan pendudukan kawasan hutan, melakukan penebangan kayu dan melakukan pembakaran hutan di wilayah adat mereka seperti di Masai Rusa, Hulu Badak, Lubuk Keramat dan Bukit Pisang.
:Sudah semestinya sanksi seperti jempalo tangan dapat dipadankan dengan perangkat hukum nasional seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan maupun pasal 170 KUHP dan pasal 187 KUHP. Bahkan berbagai tempat terjadinya kebakaran sering sekali menggunakan pasal 108 UU No. 32/2009 Tentang PPLH,"paparnya.
Istilah “jempalo tangan” adalah “perbuatan” melakukan perambahan dan pendudukan kawasan hutan, melakukan penebangan kayu dan melakukan pembakaran hutan di areal yang dilarang yang juga diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) UU No. 41/1999 Tentang kehutanan (UU Kehutanan) dan Pasal 11- Pasal 13 UU No. 18/2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).
"Maka dari itu, Koalisi Pemantau Independe Gakum Karhutla Jambi berdasarkan peninjauan dan pemantauan terhadap penegakan hukum dalam kasus Karhutla dan deforestasi hutan menyampaikan pandangan sebagai berikut:
Pertama, Mendorong semua pihak untuk melakukan upaya penguatan hak dan nilai-nilai (living low) masyarakat adat sebagai garda terdepan dalam melindungi, menjaga dan merawat kawasan hutan yang menjadi sumber kehidupan. Kedua, Mendukung upaya pihak keamanan dalam mengusut tuntas atas kejahatan Karhutla yang dilakukan secara terorganisir dengan tetap mengutamakan pedoman Perkap 8/2009 tentang Implementasi HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisiaan RI,"urainya.(Inro).